Pengertian PPh Pasal 24 adalah
:
Pajak Penghasilan (PPh) mengatur
tentang perhitungan besarnya Pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang
di luar negeri atas penghasilan di luar negeri yang dapat dikreditkan atas
seluruh wajib pajak dalam negeri.
Pajak atas penghasilan yang
terutang di luar negeri adalah pajak yang berkenaan atas usaha atau pekerjaan
di luar negeri. Pajak atas penghasilan yang dibayarkan di luar negeri adalah
pajak atas penghasilan dari modal dan penghasilan lainnya di luar negeri
misalnya bunga, deviden, royalty.
Pada dasarnya Wajib Pajak dalam
negeri terutang pajak atas seluruh penghasilan, termasuk penghasilan yang
diterima atau diperoleh dari luar negeri. Untuk meringankan beban pajak ganda
yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh di luar negeri, maka pajak atas penghasilan yang dibayar atau
terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang atas
seluruh penghasilan Wajib Pajak dalam negeri.
PPh Pasal 24 yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia hanyalah pajak yang
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
dalam tahun pajak yang sama.
Besarnya kredit pajak PPh Pasal
24 adalah sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri
tetapi tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (PPh).
Tujuan PPh Pasal 24 ini adalah
meringankan pajak ganda yang dapat terjadi karena pengenaan pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri.
Metode yang digunakan pada pasal
24 ini adalah metode penggabungan penghasilan dari luar negeri dengan
penghasilan dari Indonesia.
B. PENGGABUNGAN PENGHASILAN
Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri
dilakukan sebagai berikut:
1.
Penggabungan penghasilan dari usaha dilakukan dalam
tahun pajak diperolehnya penghasilan
tersebut (accrual basis)
2.
Penggabungan penghasilan lainnya dilakukan dalam
tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut (cash basis)
3.
Penggabungan penghasilan yang berupa deviden
(pasal 18 ayat 2 UU PPh) dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
4.
Kerugian yang diderita di luar negeri tidak
boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.
Contoh 1:
PT. Mandiri menerima dan memperoleh penghasilan netto dari
sumber luar negeri dalam tahun 2009 sebagai berikut:
1.
Hasil usaha di negara Jerman dalam tahun pajak
2009 sebesar Rp 700.000.000,00
2.
Di negara Belanda, memperoleh dividen atas
kepemilikan sahamnya di “ABC Corp.” Sbesar Rp 1.000.000.000,00 yaitu berasal
dari keuntungan tahun 2007 yang ditetapkan RUPS tahun 2007, dan dibayarkan
tahun 2009
3.
Di negara Inggris, memperoleh dividen atas
penyertaan saham sebanyak 75% di “DEF Corp.” Sbesar Rp 2.000.000.000,00 saham
tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Deviden tersebut berasal dari
keuntungan saham 2008 yang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan ditetapkan
diperoleh tahun 2009
4.
Penghasilan berupa bunga semester II tahun 2009
sbesar Rp 500.000.000,00 dari Bangkok Bank di Thailand. Penghasilan tersebut
baru akan diterima pada bulan April 2010
Penghasilan tersebut dari sumber luar negeri yang
digabungkan dengan penghasilan PT Mandiri dari dalam negeri dalam tahun pajak
2009 adalah penghasilan pada angka 1, 2, dan 3. Sedangkan penghasilan pada
angka 4 digabungkan dengan penghasilan PT Mandiri dari dalam negeri tahun pajak
2010.
C. BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK
Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan,
sumber penghasilan ditentukan sebagai berikut:
1.
Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya
serta keuntungan dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara
tempat badan yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertepat kedudukan.
2.
Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa
sehubungan dengan penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang
membayar atau dibebani bungan, royalti, atau sewa tersebut bertempat keudukan
atau berada.
3.
Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan
penggunaan harta tak bergerak adalah negara tempat harta tersebut terletak.
4.
Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan
jasa, pekerjaan, dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5.
Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara
tempat bentuk usaha tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6.
Penghasilan dari sebagian atau seluruh hak
penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.
7.
Keuntungan karena penghasilan harta tetap adalah
negara tempat harta tetap berada.
8.
Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi
bagian dari suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
berada.
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah diantara 3 unsur/perhitungan berikut ini:
1.
Jumlah pajak yang terutang atau dibayar di luar
negeri.
2.
(Penghasilan luar negeri: Seluruh Penghasilan
Kena Pajak) x PPh atas seluruh yang dikenakan tarif pasal 17.
3.
Jumlah pajak yang terutang untuk seluruh
penghasilan kena pajak (dalam hal penghasilan kena pajak adalah lebih kecil
daripada penghasilan luar negeri).
Contoh 2:
PT. Cemara memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2009
sebagai berikut:
1.
Penghasilan dari luar negeri Rp 5.000.000.000,00
dengan tarif pajak sebesar 40%
2.
Penghasilan usaha di Indonesia Rp
3.000.000.000,00
Maka jumlah penghasilan netto adalah:
Rp 5.000.000.000,00 + Rp 3.000.000.000,00 = Rp
8.000.000.000,00
Batas maksimum kredit pajak diambil yang terendah dari 3
unsur/perhitungan berikut:
1.
PPh terutang atau dibayar di luar negeri adalah:
40% x Rp 5.000.000.000,00 = Rp
2.000.000.000,00
2.
(Rp 5.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp
2.240.000.000,00 = Rp 1.400.000.000,00
3.
PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp
8.000.000.000,00 x 28% = 2.240.000.000
Dengan demikian kredit pajak yang diperkenankan adalah pada
poin 2 sebesar Rp 1.400.000.000,00.
D. BATAS MAKSIMUM KREDIT PAJAK UNTUK NEGARA (PER COUNTRY LIMITATION)
Apabila penghasilan luar negara berasala dari beberapa
negara, maka penghitungan batas maksimum kredit pajak dilakukan untuk
masing-masing negara.
Contoh 3:
PT Darwati memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2009
sebagai berikut:
1.
Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) Rp
2.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 35% (Rp 700.000.000,00)
2.
Dinegara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp
1.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 20% (200.000.000,00)
3.
Penghasilan usaha di Indonesia Rp
5.000.000.000,00
Perhitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai berikut:
1.
Penghasilan luar negeri
a.
Laba di negara A Rp
2.000.000.000,00
b.
Laba di negara B Rp
1.000.000.000,00
Jumlah penghasilan luar negeri Rp
3. 000.000.000,00
2.
Penghasilan dalam negeri Rp 5.000.000.000,00
3.
Jumlah penghasilan netto atau penghasilan kena
pajaknya adalah:
Rp 3.000.000.000,00 + Rp 5.000.000.000,00 =
Rp 8.000.000.000,00
4.
PPh terutang (menurut pasal 17) = Rp 8.000.000.000,00 x 28% = Rp 2.240.000.000,00
5.
Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing
negara adalah:
a.
Untuk negara A:
(Rp 2.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.240.000.000,00 = Rp
560.000.000,00
Pajak terutang di negara A sebesar Rp 700.000.000,00 maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 560.000.000,00
b.
Untuk negara B:
(Rp 1.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.240.000.000.000,00 =
Rp 280.000.000,00
Pajak terutang di negara B sebesar Rp 200.000.000,00 maka maksimum kredit
pajak yang dapat dikreditkan adalah Rp 200.000.000,00
6.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang dikenakan
adalah sebesar Rp 560.000.000,00 + Rp 200.000.000,00 = Rp 760.000.000,00
E. RUGI USAHA DI LUAR NEGERI
Dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak, tidak dihitung
kerugian yang diderita di Luar Negeri.
Contoh 4:
PT Fiskal memperoleh penghasilan netto dalam tahun 2009
sebagai berikut:
1.
Di negara A, memperoleh penghasilan (laba) Rp
1.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 35% (Rp 350.000.000,00)
2.
Di negara B, memperoleh penghasilan (laba) Rp
3.000.000.000,00 dengan tarif pajak sebesar 20% (Rp 600.000.000,00)
3. Di negara C, menderita kerugian sebesar Rp
2.000.000.000,00
4.
Penghasilan usaha di Indonesia Rp
4.000.000.000,00
Penghitungan kredit pajak luar negeri adalah sebagai
berikut:
1.
Penghasilan luar negeri
a.
Laba di negara A Rp
1.000.000.000,00
b.
Laba di negara B Rp
3.000.000.000,00
c.
Laba di negara C Rp
-
Jumlah penghasilan luar negeri Rp
4.000.000.000,00
2.
Penghasilan dalam negeri Rp 4.000.000.000,00
3.
Jumlah penghasilan netto atau penghasilan kena
pajaknya adalah : Rp 4.000.000.000,00 + Rp 4.000.000.000,00 = Rp
8.000.000.000,00
4.
PPh terutang (menurut tarif pasal 17) = Rp
8.000.000.000,00 x 28% = Rp 2.240.000.000,00
5.
Batas maksimum kredit pajak untuk masing-masing
negara adalah:
a.
Untuk negara A:
(Rp 1.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.240.000.000,00 = Rp
280.000.000,00
Pajak terutang negara A sebesar Rp 350.000.000,00 maka maksimum kredit
pajak yang dikreditkan = Rp 280.000.000,00
b.
Untuk negara B:
(Rp 3.000.000.000,00 : Rp 8.000.000.000,00) x Rp 2.240.000.000,00 = Rp
840.000.000,00
Pajak terutang di negara B sebesar Rp 600.000.000,00 maka maksimum kredit
pajak yang dikreditkan Rp 600.000.000,00
c.
Di negara C PT fiskal menderita kerugian sebesar Rp 2.000.000.000,00.
Kerugian ini tidak dapat dimasukkan
dalam perhitungan penghasilan kena pajak. Kerugian ini juga tidak dapat
dikompensasikan sebagai kredit pajak luar negeri.
6.
Jumlah kredit pajak luar negeri yang
diperkenankan adalah: Rp 280.000.000,00 + Rp 600.000.000,00 = Rp 880.000.000,00
F. PERUBAHAN BESARNYA PENGHASILAN DI LUAR
NEGERI
Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang
berasal dari luar negeri, Wajib Pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan
untuk tahun pajak yang bersangkutan dengan melampirkan dokumen yang berkenaan
dengan perubahan tersebut. Apabila karena pembetulan tersebut menyebabkan Pajak
Penghasilan kurang dibayar, maka atas kekurangan tersebut tidak dikenakan
sanksi bunga. Apabila karena pembetulan tersebut menyebabkan Pajak Pebghasilan
lebih dibayar, maka atas kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada Wajib
Pajak setelah diperhitungkan dengan uang pajak lainnya.
Contoh 5 :
PT. Global Prima di Jakarta memperoleh penghasilan netto
dalam tahun 2009 sebagai berikut:
1.
Penghasilan Luar Negeri (tarif pajak 20%) Rp 1.000.000.000,00
2.
Penghasilan Dalam Negeri Rp 3.000.000.000,00
3.
Penghasilan Luar Negeri (setelah dikoreksi di
luar negeri)Rp 2.000.000.000,00
4.
PPh Pasal 25 Rp
800.000.000,00
SPT 2009:
Penghasilan luar negeri Rp
1.000.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp
3.000.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak Rp
4.000.000.000,00 +
PPh Terutang (menurut pasal 17) Rp 1.120.000.000,00
Kredit Pajak Luar Negeri yang diperkenankan Rp
( 200.000.000,00)
Harus bayar di Indonesia Rp 920.000.000,00
PPh Pasal 25 Rp
( 800.000.000,00)
PPh Pasal 29 Rp 120.000.000,00
Pembetulan SPT
Penghasilan luar negeri Rp
2.000.000.000,00
Penghasilan dalam negeri Rp
3.000.000.000,00 +
Penghasilan Kena Pajak Rp
5.000.000.000,00
PPh Terutang (menurut pasal 17) Rp 1.400.000.000,00
Kredit Pajak Luar Negeri Rp
( 400.000.000,00)
Harus dibayar di Indonesia Rp
1.000.000.000,00
PPh Pasal 25 Rp
( 800.000.000,00)
PPh Pasal 29 yang sudah disetor Rp ( 120.000.000,00)
Masih harus dibayar Rp
80.000.000,00
Terhadap PPh yang masih harus dibayar sebesar Rp
80.000.000,00 tidak ditagih bunga.
G. CARA MELAKSANAKAN KREDIT PAJAK LUAR NEGERI
Untuk melaksanakan pengkreditan pajak yang terutang atau
dibaya di luar negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
1.
Laporan keuangan dari hasil yang berasal dari
luar negeri.
2.
Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang
disampaikan di luar negeri.
3.
Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penyampaian permohonan
kredit pajak yang terutang atau dibayar di luar negeri tersebut dilakukan
bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh.
DAFTAR REFERANSI
Mardiasmo, 2011. Perpajakan
Edisi Revisi 2011, Penerbit Andi: Jakarta